Miskin Dilarang Pintar *

 on Sunday, July 3, 2011  

Kelulusan yang diberlakukan tahun ini, tahun 2011, adalah 60 persen melalui hasil ujian nasional (UN) ditambah 40 persen nilai dari sekolah yang terdiri dari nilai ujian dan rapor. Artinya, setiap mata pelajaran, siswa wajib memiliki nilai minimum 4,00. Bila kita rinci, porsi 40 persen nilai dari sekolah adalah 24 persen hasil ujian akhir sekolah (UAS) 16 persen dari penilaian lain. Dengan demikian 84 persen kelulusan ditentukan oleh ujian yang memberikan perbedaan dengan standar kelulusan tahun lalu.
Jika pemerintah menerapkan formula ini, maka pihak sekolah mungkin dapat memahami siswa didiknya untuk lulus atau tidak lulus. Namun, yang perlu diingat oleh sekolah, bahwa jika ada soal yang bocor, hal itu mudah ditelusuri karena ada kode khusus. Resikonya, nilai ujian sekolah bisa dihapus (nol) dan sekolah yang bersangkutan masuk daftar hitam. (Mendiknas Mohammad Nuh, Kompas.com, 11 April 2011).
Meskipun sistem kelulusan tahun ini ada yang menilai lebih baik dari tahun lalu, namun perlu diingat, angka kelulusan 60 persen UN merupakan wujud dominasi Pemerintah yang bertentangan dengan misi otonomi pendidikan beserta Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), ini bila dikaitkan ketentuan dalam Pasal 57 ayat (2) UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional ‘Evaluasi dilakukan kepada peserta didik, lembaga, dan program pendidikan pada jalur formal dan informal untuk semua jenjang, satuan dan jenis pendidikan’. Sedangkan  Pasal 58 ayat (1) menyatakan ; ‘Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh Pendidik untuk memantau proses kemampuan dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan’, dan Pasal 1 Ayat (17) menyatakan: ‘Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistim pendidikan di seluruh wilayah NKRI’.
Ada beberapa permasalahan utama, pertama, 60 persen kelulusan yang ditentukan melalui Ujian Nasional (penilaian dari pemerintah), sedangkan keaktifan serta intelektual hanya 40 persen merupakan pengebirian peran pendidik yang telah mendidik selama 3 tahun. UU No.14 Tahun 2005, tentang Guru dan Dosen menyatakan ‘Salah satu hak guru dan dosen memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan’.
Dalam mencapai tujuan pendidikan nasional sebagaimana amanat UUD 1945, sesuai Pasal 58 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan, ‘Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh Pendidik untuk memantau proses kemampuan dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan’.
Dalam faktanya, UN tentu akan menentukan nasib jutaan siswa Indonesia. Padahal, siswa-siswi ini dididik di dalam sistem yang dirancang Pemerintah. Artinya, kalaupun ada kegagalan dalam UN, kesalahannya bisa disebabkan oleh sistem pendidikan, bukan oleh siswa. Yang perlu dievaluasi seharusnya bukan hanya siswa, tetapi juga sistem pendidikan nasional. Pemerintah berlaku tidak adil karena mau mengevaluasi siswa tanpa mau melakukan evaluasi terhadap sistem yang diciptakannya sendiri.
Buktinya, meskipun pemerintah sering mengatakan bahwa UN digunakan untuk melakukan pemetaan pendidikan, hal ini tidak benar-benar pernah terjadi. Sampai saat ini, belum pernah ada hasil pemetaan pendidikan yang dilakukan, apalagi disiarkan ke publik, termasuk hasil analisanya. Program-program pemerintah di bidang pendidikan termasuk rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI), dan lain-lainnya tidak pernah dirancang berdasarkan hasil pemetaan pendidikan di Indonesia.
Kedua, apakah masih relevan Ujian Nasional diadakan mengingat di satu sisi visi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ( KTSP) bertujuan menggali sesuai potensi lokal, namun peserta didik dituntut lulus 60 persen UN, yang soal-soalnya adalah produk Pemerintah (Diknas) yang belum tentu memahami kemampuan belajar peserta didik. Faktanya, kemampuan peserta didik bagi sekolah di pedalaman tentu saja berbeda dengan kemampuan sekolah di perkotaan (sekolah favorit) karena kelengkapan sarana dan prasarananya.
Ketiga, pemerintah masih menggunakan paradigma bahwa bentuk assessment yang terbaik adalah dengan ujian. Hal ini dibuktikan dengan penentuan kelulusan yang didominasi oleh ujian (84 persen). Tampaknya pemerintah sudah ketinggalan zaman. Tidak paham di berbagai belahan dunia, assessment tidak didominasi oleh ujian. Assessment ini harus dilakukan oleh guru, bukan pemerintah.
Menurut penelitian Gardner (2010, h. 2), kalau guru memperoleh pelatihan yang tepat dan efektif terkait assesment, maka penilaian guru akan jauh lebih nyata dan valid dibandingkan ujian eksternal manapun. Pertanyaannya, apakah pemerintah telah melatih guru-guru di Indonesia bisa menjalankan bervarasi bentuk assessment untuk menilai siswa? Lalu, apakah sistem yang dirancang oleh pemerintah selama ini berfungsi dengan baik?
Dengan demikian permasalahan Pendidikan di seluruh Indonesia memunculkan beberapa permasalahan terhadap kelulusan siswa antara lain :
Pertama, dengan 60 persen kelulusan yang ditentukan melalui UN (penilaian dari pemerintah), sedangkan keaktifan serta intelektual lainnya yang hanya 40 persen ini merupakan bentuk pengebirian peran guru atau pendidik, mengingat materi lain (misalnya keaktifan serta intelektual lainnya) adalah merupakan faktor penting dalam menumbuh kembangkan intelektualitas yang bermoral dalam mencapai tujuan pendidikan nasiona,l sebagaimana diamanatkan dalam  Pembukaan UUD 1945. Bagaimanakah seandainya yang 40 persen kelulusan dari UN sedangkan 60 persen yang dari sekolah, ini sedikit lebih baik.
Kedua, sesuai Pasal 57 Ayat (1) beserta Pasal 1 Ayat (17) diatas, sudahkah dilakukan pemantuan terhadap kelayakan proses pendidikan untuk mengacu standar Nasional pendidikan? Dalam realitanya hasil akhir bermuara kepada peserta didik terutama menyangkut sandar kebutuhan minimal secara komprehensif dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal lembaga pendidikan yang mencakup, Sarana dan parasana Pendidikan, Pendidik, Penerimaan arus informasi dan buku, Lingkungan Pendidikan, Peran serta masyarakat dan Peran media massa dalam mengontrol dll.
Sesuai Pasal 58 ayat (1) UU No.  Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, disebutkan diatas, yang mengevaluasi dan memantau proses intelektual anak didik adalah pendidik (guru). Hal ini jelas kontribusi dan peran guru dalam penentuan kelulusan anak didik sangat penting dan besar, karena sang pahlawan tanpa tanda jasa yang selama ini melihat langsung, yang mendidik, yang membina mental dan intelektual anak didik selama berada di lembaga pendidikan, dan bukan UN yang soal-soalnya dibuat oleh Pusat dan belum tentu memahami kondisi siswa serta sekolahan.
Pasal 35 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003, dalam penjelasan dinyatakan ‘kompetensi kelulusan adalah merupakan kualifikasi kemampauan kelulusan yang mencakup sikap, pengetahuan dan ketrampilan’, di sini jelas bahwa kemampuan dan ketrampilan yang hanya diketahui oleh pendidik/guru hampir tidak dinilai oleh UN (hanya 40 persen). Peran  guru dalam hal ini terpasung.
Pasal 37 UU No. 20 Tahun 2003, materi wajib yang harus diakomodir dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah memuat Pendidikan Agama, PKN, Bahasa, Matematika, IPA, IPS, Seni dan Budaya Penjas, Ketrampilan dan jasa, muatan lokal, kata ‘wajib’ merupakan suatu bentuk yang wajib diajarkan kepada anak didik, konsekuensinya materi tersebut harusnya menjadi indikator sebuah kelulusan anak didik.
Permasalahan hukum lain yang perlu diperhatikan oleh Pemerintah dan seluruh (Kepala) dinas-dinas Pendidikan seluruh Indonesia, kondisi bangunan sekolah dan pendidikan nasional di Indonesia belum bisa distandarisasikan, karena bangunan yang sudah tidak layak, kinerja guru perlu ditingkatkan, konsekuensi motivasi guru sebagai pendidik perlu ditingkatkan, baik gaji/tunjangan, pendidikan, sarana dll, geografis dan budaya, arus informasi dll.
Sehingga, standarisasi harusnya melalui perlakuan dan penilaian yang sama dalam semua aspek. Kenyataan selama in,i aspek-aspek belum standar, sehingga standar nasional belum bisa dilaksanakan, namun pihak Diknas melalui proses harus melengkapi semua persyaratan yang diamanatkan oleh UU, baik sarana maupun prasarana serta ketentuan operasional serta proses sosialisasi. Saya masih menganggap, bahwa kenyataan dan fakta UN bertentangan dengan ketentuan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang membawa dampak pada pembodohan bangsa, dan bertentangan dengan amanat pembukaan UUD 1945.
Permasalahan hukum lain, berdasarkan UU No.14 Tahun 2005, tentang Guru dan Dosen sebagaimana yang diuraikan diatas menyatakan, bahwa ‘Salah satu hak guru dan dosen memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan’. Sangat jelas dan tegas dalam UU ini, bahwa yang memberikan penilaian objektif terhadap kelulusan anak didik adalah guru maupun dosen, sedangkan dengan UN peran-peran guru dikebirikan. Dengan demikian UN bertentangan dengan UU No. 14 tahun 2005 karena Pemerintah melalui Diknas mengambil hak pedagogis sang pahlawan tanpa tanda jasa. Profesi guru tidak dihargai sebagai suatu tugas mulia untuk mencerdaskan bangsa.
Berdasarkan permasalahan tersebut diatas, saya ingin menyampaikan, bahwa terlalu banyak sistem dan aturan yang dibuat akan menciptakan proyek baru KKN kalangan oknum didalamnya, kalau tidak ingin saya katakan dikalangan aparatur. Akibatnya, hanya mereka yang berduit dan punya kekuasaan saja yang akan bisa melaksanakan. Begitu pula dengan sistem pendidikan yang berlaku saat ini, membuat sekolah berupaya memperbaiki citra (menaikkan nilai) walaupun dengan cara yang salah, serta membuat si miskin tersingkir ketika berhadapan dengan sebuah sistem yang tak mungkin mereka masuk didalamnya karena faktor kemampuan modal ekonomi yang terbatas. Akibatnya, ia terdepak dari harapan-harapan untuk berkarya.  Saya tidak tahu apakah memang wajah pendidikan kita sudah dipenuhi politikus pendidikan didalamnya?
Bentuk nyata memprihatinkan yang kita lihat sampai hari ini ialah, siswa yang berasal dari ekonomi kurang mampu dan lulus standar nasional tidak bisa melanjutkan ke pendidikan lebih tinggi karena NEM belum memenuhi standar yang diminta oleh sekolah serta mahalnya biaya pendidikan. Tentu bukan karena tidak mampu secara akademis, tetapi sistim yang dibuat membuat mereka tidak mampu melanjutkan, bahkan banyak siswa yang telah dinyatakan lulus jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK), tetapi ia sebenarnya tidak lulus mengikuti UN. Kenyataan ini memperkuat adanya disparitas ‘orang miskin dilarang pintar’, yang kaya bisa bermain-main, yang miskin tersingkir.
Ada banyak pekerjaan rumah yang tidak dapat dilakukan Pemerintah dengan baik, yaitu mengkaji ulang sistem pendidikan saat ini, memastikan semua guru berkualitas dengan menciptakan sistem peningkatan profesi guru yang baik, memastikan semua siswa di Indonesia bisa melanjutkan sekolah, serta memastikan anak miskin bisa pinter.
*Penulis adalah Seorang Advokat  dan Dosen  STIKes Hutama Abdi Husada Tulungagung

Source : Jurnal Berita
Miskin Dilarang Pintar * 4.5 5 Unknown Sunday, July 3, 2011 Kelulusan yang diberlakukan tahun ini, tahun 2011, adalah 60 persen melalui hasil ujian nasional (UN) ditambah 40 persen nilai dari sekolah...


2 comments:

  1. membaca suatu artikel di blog ini sembari mendengarkan lagu Love is blind. Saya jadi pengen nangis huaaaa. Melirik artikel ini rasanya ingin beteriak " Hadoh, mengapa orang ingin belajar biaya harus dimahalkan ? Bukankah belajar tidak harus mengenal status sosial dari seseorang! Baik Kaya miskin sama saja, sama2 makhluk ciptaan Tuhan ( Allah S.W.T) yang ingin mendapatkan pendidikan". Semoga tahun depan hal ini akan berubah... yah,semoga saja.

    ReplyDelete
  2. Amin...terimakasih mas Said atas tanggapan tulisan saya, semoga bermanfaat

    ReplyDelete

Copyright © SEBO'S BLOG. All Rights Reserved.   New House Theme by CB Design